Rabu, 27 Mei 2009

Hamil Dulu Menikah Kemudian

analisa :
Menikahi Wanita Hamil Dari Zina
oleh : Izzudin Karimi



Berpegangnya masyarakat terhadap ikatan-ikatan mulia Islam melemah, nilai-nilai luhur akhlak memudar, batasan-batasan pergaulan antara lawan jenis tidak lagi dihiraukan, anak-anak muda rendang-rendeng, (bergandengan) layaknya suami istri, pacaran adalah hal lumrah di antara mereka, lebih dari sekedar pacaran, kehidupan permisif, seks bebas dijalani oleh sebagian dari mereka, akibatnya adalah kecelakaan alias hamil di luar nikah, selanjutnya ada aborsi, ada yang merawat janin dan bapak dan ibu biologisnya sepakat untuk menikah. Apa hukum pernikahan ini?
Bolehkah menikahi wanita hamil karena zina atau tidak? Dengan kata lain, wanita hamil dari zina, apakah wajib iddah atasnya atau tidak? Jawabannya, para ulama terbagi menjadi dua pendapat dalam masalah ini.

Pendapat pertama, tidak boleh menikahi wanita hamil karena zina. Ini adalah pendapat Malikiyah, Hanabilah dan Abu Yusuf.

Ibnu Qudamah berkata, “Pasal, jika seorang wanita berzina, maka siapa yang mengetahui hal itu tidak halal untuk menikahinya kecuali dengan dua syarat: pertama, wanita itu telah menyelesaikan iddahnya, jika dia hamil karena zina maka selesainya iddah adalah dengan melahirkan, sebelum dia melahirkan tidak halal untuk dinikahi. Ini adalah pendapat Malik dan Abu Yusuf, ia adalah salah satu dari dua riwayat dari Abu Hanifah.” (Al-Mughni 7/107).

Dalil-Dalil Pendapat ini:

1- Wanita hamil berada dalam masa iddah, masa iddahnya adalah melahirkan, wanita yang berada dalam masa iddah dilarang menikah. Kewajiban masa iddah ini bersifat umum, dari pernikahan yang shahih atau fasid atau batil, bahkan dari perzinaan sekali pun.

2- Dari Ruwaifi’ bin Tsabit al-Anshari berkata, ketahuilah bahwa aku tidak berkata kepada kalian kecuali apa yang aku dengarkan dari Rasulullah saw, beliau bersabda pada hari Hunain, “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” Maksudnya adalah menggauli wanita-wanita hamil. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 6507.

3- Dari Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw bersabda tentang wanita-wanita tawanan perang Hunain, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan, demikian juga dengan yang tidak hamil sehingga dia mendapatkan satu haid.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ahmad, dishahihkan oleh al-Albani dalam al-Irwa` 5/140.

Pendapat kedua, halal menikahinya. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin al-Hasan, asy-Syafi'i dan Zhahiriyah.

Al-Kasani berkata, “Pasal, adapun iddah wanita hamil maka ia adalah masa kehamilan…Dan syarat kewajiban iddah adalah hendaknya kehamilan dari pernikahan yang shahih atau pernikahan yang fasid, karena terjadinya persetubuhan dalam pernikahan yang rusak mewajibkan iddah dan iddah tidak wajib atas wanita hamil dari zina, karena zina memang tidak mengharuskan masa iddah, hanya saja jika seseorang menikah dengan seorang wanita sementara wanita itu hamil dari zina maka pernikahannya boleh menurut Abu Hanifah dan Muhammad, tidak boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan agar dia tidak menyiramkan airnya ke ladang orang lain.” (Bada`i’ ash-Shanai’ 3/192-193).

Dalil Pendapat ini:

1- Kewajiban iddah hanya berlaku jika kehamilan berasal dari pernikahan atau syubhat pernikahan bukan karena zina, hal ini karena zina adalah haram dan yang haram tidak memliki harga yang perlu dipertimbangkan.

2- Nabi saw melarang menyiramkan air ke ladang orang lain, lalu wanita hamil dari zina ladang siapa? Dia bukan ladang siapa pun karena di sini tidak ada akad atau syubhat akad.

3- Nabi saw, “Hendaknya yang hamil jangan digauli sebelum dia melahirkan.” berlaku untuk para tawanan wanita yang telah hamil oleh suami mereka atau majikan mereka, sebab hadits ini menunjukkan hal itu karena ia untuk para tawanan perang Hunain.
Kemudian pihak yang membolehkan pernikahan terhadap wanita hamil dari zina berbeda pendapat tentang boleh tidaknya menyetubuhi wanita tersebut menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama, jika kehamilan berasal dari orang yang menikahinya maka persetubuhan boleh, jika tidak maka tidak. Ini adalah pendapat Hanafiyah dan Zhahiriyah.

Ibnu Hazm berkata, “Masalah, jika seorang wanita hamil dari zina atau dari pernikahan yang fasid yang difasakh atau dari pernikahan yang shahih lalu ia difasakh karena sebuah hak yang wajib atau wanita tersebut adalah hamba sahaya milik majikannya kemudian majikannya memerdekakannya atau majikannya mati meninggalkannya, dalam seluruh keadaan yang kami sebutkan di atas wanita tersebut boleh menikah sebelum dia melahirkan hanya saja suaminya belum boleh menggaulinya sehingga wanita tersebut melahirkan, semua ini berbeda dengan wanita yang ditalak atau wanita yang ditinggal wafat suaminya sedangkan dia hamil, dalam dua kondisi ini tidak boleh ada pernikahan tanpa ditawar sebelum yang bersangkutan melahirkan.” (Al-Muhalla 9/156).

Pendapat kedua, boleh menggaulinya secara mutlak. Ini adalah pendapat asy-Syafi'i.

Al-Haetami berkata, “Kemudian jika dia mengikuti orang-orang yang berpedapat bahwa menikahinya –yakni wanita hamil- halal dan dia menikahinya, apakah dia boleh menggaulinya sebelum wanita tersebut melahirkan, pendapat yang dinyatakan shahih oleh asy-Syaikhan adalah boleh. Ar-Rafi’i berkata, tidak ada kehormatan bagi kehamilan karena zina, kalau menggauli dilarang maka menikahi pun dilarang seperti menggauli karena syubhat. Ibnu al-Haddad salah satu imam kami berkata, tidak boleh, ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik dan Dawud.” (Al-Fatawa al-Fiqhiyah 4/94).

Pendapat yang rajih, wallahu a'lam, adalah boleh menikahi wanita hamil dari zina jika yang menikahinya adalah orang yang menghamilinya dan dia juga boleh menggaulinya karena dia tidak menyiram airnya ke ladang orang lain, akan tetapi ladang sendiri, namun jika hal ini digunakan secara keliru oleh sebagian anak muda, misalnya yang bersangkutan sengaja menempuh jalan ini untuk bisa meluluhkan hati bapak si gadis, atau hal ini membuka sikap meremehkan terhadap auran-aturan pergaulan, misalnya dia berkata, “Tidak apa-apa hamil, toh nanti dinikahkan juga.” atau ucapan yang semisalnya, maka pendapat pertama perlu dipertimbangkan. Wallahu a'lam.

Amalan Khusus Bulan Rajab

Adakah Amalan Khusus di Bulan Rajab?


Jauhnya sebagian umat Islam dari ajaran agamanya mengakibatkan mereka tak mampu membedakan antara ajaran agama atau bukan. Sesuatu yang merupakan ajaran agama terkadang dipandang bukan ajaran agama. Sebaliknya, sesuatu yang bukan ajaran agama justru dipandang sebagai ajaran agama.

Di sinilah peran ilmu syar'i sangat penting dan menentukan, sehingga seseorang tak salah dalam mengklasifikasikan suatu persoalan, ushuliyah kah (pokok/prinsip) atau tergolong masalah furu'iyah (cabang) yang di dalamnya terbuka pintu ijtihad dan perbedaan pendapat.

Di sisi lain, ada beberapa persoalan yang secara jelas termasuk yang diada-adakan dalam agama ini yang seharusnya ditinggalkan karena tidak berdasarkan dalil yang jelas dan tegas, tetapi diamalkan oleh sebagian besar umat Islam

Dalam hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:

  • Pertama, bisa jadi mereka melakukan amalan tersebut karena tidak tahu bahwa hal itu tidak ada contoh dan tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga menganggapnya sebagai ajaran agama.

  • Kedua, mengetahui bahwa hal itu sebagai perbuatan yang tidak ada dasar dan dalilnya, tetapi dengan berbagai dalih dan pembenaran yang dipaksakan, mereka melakukan perbuatan tersebut, sehingga semakin memantapkan orang-orang awam bahwa hal itu merupakan ajaran agama yang harus diamalkan.


Padahal, Allah Ta’ala tidak menerima amalan seseorang, kecuali yang memang merupakan ajaran agama dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau bersabda,"Barangsiapa melakukan suatu amalan tidak atas perintahku maka amalan itu tertolak." (HR. Muslim).

Ajaran Yang Tidak Ada Perintah Dari Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam, Tapi Membudaya Dan Diamalkan Umat.

Di antara persoalan yang termasuk tidak ada contoh dan tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi kebanyakan umat Islam melakukannya adalah memilih bulan Rajab untuk melakukan ibadah-ibadah khusus, misalnya puasa sebulan penuh atau sebagiannya, dan meyakininya memiliki keutamaan yang besar. Atau -dan ini turun temurun sejak nenek moyang- menyelenggarakan peringatan Isra' Mi'raj pada malam 27 Rajab atau malam lain di bulan tersebut.

Biasanya, peringatan Isra' Mi'raj itu diselenggarakan di dalam masjid. Masyarakat yang hadir dalam peringatan tersebut dari berbagai kalangan . Dari orang-orang awam, ulama hingga para pejabat.

Karena sangat semarak dan ramainya peringatan Isra' Mi'raj tersebut, kadang-kadang umat Islam yang hadir lupa bahwa mereka sedang berada di rumah Allah Ta’ala. Akhirnya tak terhindarkan lagi bercampurnya kebenaran dan kebatilan dalam masjid tersebut, sehingga masjid itu berubah fungsinya menjadi tempat keramaian dan bersenang-senang/ hiburan.

Masjid-masjid itu boleh dan sah diadakan berbagai pertemuan yang diselenggarakan di dalamnya, jika berupa majlis ta'lim, mengaji kandungan al-Qur'an al-Karim atau halaqah ilmu-ilmu agama, berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla, memusyawarahkan perkara-perkara yang bermanfaat bagi umat dan lain-lain yang masih dalam kerangka beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala.

Masjid bukan tempat peringatan dan pertemuan yang tujuannya sempit dan terbatas, tanpa memperdulikan apakah hal tersebut diridhai Allah Ta’ala atau dimurkaiNya.

Dan perlu kita ketahui, sesungguhnya acara-acara penyelenggaraan peringatan Isra' Mi'raj tersebut tidaklah pernah diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Biasanya orang-orang datang dalam peringatan Isra' Mi'raj tersebut untuk mendengar beberapa hal:

  • Pertama: Pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an dari seorang qari' terkenal dengan suara meliuk-liuk yang bisa diduga agar -wallahu a'lam- mendapatkan simpati dan kekaguman dari para pendengarnya.

  • Kedua: Mendengarkan ceramah agama, yang biasanya oleh seorang yang dikenal pandai melucu di sela-sela ceramahnya. Atau oleh orang yang pandai berkomunikasi dengan para pendengarnya. Adapun kriteria kadar keilmuan dan kewara'an sang penceramah merupakan sesuatu yang hampir terlupakan.


Acara-acara di atas menelan biaya cukup besar, bahkan ada yang hingga puluhan juta rupiah. Dan, bila acara tersebut terselenggara dengan baik, peringatan Isra' Mi'raj pun dianggap sukses.

Orang-orang awam menganggap bawah itulah agama, itulah ajaran Islam. Dan mungkin sebagian mereka beranggapan, asal telah menyelenggarakan berbagai acara tersebut, berarti mereka telah menunaikan kewajiban agama.

Tidak sedikit mereka yang percaya dengan upacara peringatan-peringatan itu tidak menjaga shalatnya, berbalikan dengan semangat mereka menyelenggarakan berbagai macam peringatan tersebut. Bahkan tak jarang di antara mereka ada yang datang ke masjid hanya sekali dalam seminggu karena harus melaksanakan shalat Jum'at.

Ini adalah keawaman umat Islam. Karena itu kewajiban para ulama pewaris para Nabi menerangkan ajaran Islam kepada umatnya tanpa menyimpangkannya atau menghiasai kebenaran dengan kebatilan, dengan maksud untuk lebih menarik simpati dan mendapatkan banyak pengikut.

Perkara lain yang tidak ada contoh dan tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Rajab adalah -ini biasanya dilakukan oleh sebagian wanita muslimah- ziarah kubur pada hari Kamis, pekan pertama dari bulan Rajab. Dalam ziarah tersebut mereka membawa berbagai makanan lezat, buah-buahan segar dan minuman yang serba enak. Berbagai bawaan itu mereka bagi-bagikan kepada orang-orang yang sedang berkerumun di kuburan. Dan, sebagiannya membacakan al-Qur'an di beberapa sudut pekuburan. Perbuatan yang mereka anggap baik itu, justeru menjerumuskan mereka pada lumpur dosa.

  • Pertama: Mereka menyiapkan dirinya mendapat laknat Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan buruk atas para wanita yang berziarah kubur, sebagaimana dalam sabda beliau,"Allah Ta’ala melaknat para wanita yang berziarah kubur, mereka yang membangun masjid-masjid di atasnya, dan meneranginya dengan lampu-lampu." (HR. Abu Daud dan lainnya, Ahmad Syakir berkata, hadits hasan).

  • Kedua: Membagi-bagikan sedekah di kuburan akan membuat fitnah kepada manusia, sebab mereka akan berebut pergi ke lokasi-lokasi kuburan tempat pembagian sedekah. Lalu apa pula landasan para wanita tersebut, sehingga harus mengkhususkan membagi-bagikan sedekah di kuburan? Apakah sedekah hanya diterima jika dibagi-bagikan di kuburan? Padahal Allah Ta’ala akan menerima setiap sedekah, asalkan dikeluarkan dengan ikhlas, kapan dan di mana pun sedekah itu dikeluarkan.

  • Ketiga: Allah Ta’ala menurunkan Al-Qur'an sebagai peringatan bagi orang-orang hidup. Benar bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat doa-doa yang berfaedah untuk pembacanya, yang merenungkan dan memahami isinya. Tetapi bukan untuk orang-orang yang telah wafat. Apa manfaat pembacaan ayat atau surat yang berisi tentang peringatan akan adzab Allah, kisah-kisah masa lalu, ayat-ayat hukum dalam soal harta waris, thalak, nikah, jihad, amar ma'ruf dan nahi munkar kepada orang yang telah meninggal dunia?

    Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan orang yang telah meninggal dan memohonkannya ampun kepada Allah Ta’ala. Tetapi beliau tidak membacakan al-Qur'an atas mayit tersebut.

    Adapun puasa pada bulan Rajab, dibolehkan selama merupakan kebiasaan orang yang melakukannya. Seperti bagi yang terbiasa melakukan puasa Senin-Kamis, atau puasa tiga hari pada tanggal 13, 14 dan 15 setiap bulan Hijriyah.


Hadits-hadits Palsu dan Tidak Shahih Seputar Bulan Rajab

Di antara hadits-hadits dha’if (lemah) dan maudhu' (palsu) yang sering dijadikan pegangan untuk amalan-amalan tertentu pada bulan Rajab adalah:

"Rajab adalah bulan Allah, Sya'ban adalah bulanku dan Ramadhan adalah bulan umatku." Diriwayatkan secara mursal oleh Abu al-Fatah bin Abi al-Fawaris, dalam “Amaliyah” (Hadits dha’if, lihat: “Dha’if al-Jami’, hadits no. 3094, karya al-Albani).

"Sesungguhnya di Surga terdapat sungai yang dinamakan sungai Rajab. Airnya lebih putih daripada susu, (rasanya) lebih manis daripada madu. Barangsiapa puasa sehari dari bulan Rajab, maka Allah akan memberinya minum dari sungai tersebut." Diriwayatkan oleh Syairazi dalam Alqab (hadits maudhu', lihat: “Dha’if al-Jami’, hadits no. 1902, karya al-Albani).

"Barangsiapa puasa tiga hari dalam bulan haram (yakni hari) Kamis, Jum'at dan Sabtu, maka Allah menuliskan untuknya (pahala) ibadah (selama) dua tahun." (Hadits dha’if, lihat: “Dha’if al-Jami’, hadits no. 5649, karya al-Albani).

"Keutamaan bulan Rajab atas segenap bulan lain seperti keutamaan al-Qur'an atas segenap perkataan (manusia)." Ibnu Hajar berkomentar, hadits ini maudhu'. (Lihat: Kitab “Kasyfu al-Khafa’ 2/110, karya al-Ajaluni).

Mengkhususkan puasa pada bulan Rajab dan Sya'ban, sama sekali tidak berdasarkan pada dalil. Diriwayatkan bahwa Umar radhiallahu ‘anhu memukul orang yang berpuasa pada bulan Rajab. Selanjutnya beliau berkata, “Rajab adalah bulan yang sangat diagung-agungkan oleh orang-orang Jahiliyah.”(Shahih. Lihat: “al-Irwa’, hal. 957, karya al-Albani).

Ibnu Hajar berkata, “Tidak ada satupun hadits shahih tentang keutamaan bulan rajab, serta mengkhususkan puasa pada hari tertentu di dalamnya, juga tidak qiyamullail pada malam tertentu, yang bisa dijadikan dalil dalam masalah tersebut (Lihat: “Tabyinu al-’Ajab, hal.21, karya Ibnu Hajar).

Dalil Palsu Mereka Seputar Bulan Rajab

Adapun hadits-hadits maudhu' yang mereka jadikan dalil amalan mereka memang banyak. Untuk menjelaskan ketidak benaran dalil mereka, asy-Syaukani dalam “al-Fawaid al-Majmu'ah Fi al-Ahadits al-Maudhu-'ah” menyebutkan beberapa dalil mereka di antaranya:

  • "Perbanyaklah istighfar di bulan Rajab, karena sesungguhnya pada setiap saat daripadanya, Allah Ta’ala memerdekakan beberapa orang dari (adzab) Neraka." (Hadits maudhu').

  • "Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab dan melakukan qiyamullail pada suatu malam saja, niscaya Allah Ta’ala akan mengutus padanya pengaman pada hari Kiamat." (Hadits maudhu').

  • "Barangsiapa melakukan qiyamullail semalam dari bulan Rajab dan berpuasa sehari daripadanya, niscaya Allah Ta’ala akan memberinya makan dari buah-buahan Surga." (Hadits maudhu').

  • "Rajab adalah bulan Allah Ta’ala yang paling baik untuk berpuasa, karena Dia mengkhususkannya untuk diriNya. Barangsiapa berpuasa sehari daripadanya karena iman dan mencari ridha Allah subhanahu wata’ala, niscaya ia akan mendapatkan keridhaanNya." (Hadits maudhu').


Dari berbagai uraian di muka, jelaslah bahwa pengkhususan bulan Rajab untuk berbagai amalan dan ibadah tertentu bukanlah tuntunan dan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukuplah kita beribadah dan melakukan amalan sesuai dengan petunjuk dan tuntunan beliau.

(Redaksi Buletin an-Nur)

Sumber: Majalah Tauhid No. 7, Rajab 1405, Syaikh Muhammad Ali Abdur Rahim.

Selasa, 26 Mei 2009

Sholatnya seseorang yang sibuk

Artikel Fatwa :

Shalatnya Piket Penjaga ( Satpam )
Kamis, 01 April 04

Tanya :

Seorang tentara ditugaskan untuk menjaga keamanan suatu tempat, saat tiba waktu shalat Ashar ia tidak melaksanakannya, dan baru shalat setelah shalat Maghrib, hal itu dikarenakan tidak ada yang menggantikan posisinya dalam melaksanakan tugas ini. Apakah ia berdosa karena menangguhkannya? Apa pula yang seharusnya dilakukan oleh orang yang menghadapi situasi semacam itu?

Jawab :

Seorang piket penjaga atau lainnya tidak boleh menangguhkan shalat hingga keluar dari waktunya, hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban atas orang-orang yang beriman yang telah ditentukan waktunya.” (An-Nisa’: 103).
Juga berdasarkan dalil-dalil lain di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Maka ia harus mengerjakan shalat pada waktunya di samping tetap menjalankan tugas penjagaan, sebagaimana dahulu kaum Muslimin melaksanakannya bersama Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, yaitu dalam shalat khauf, di mana mereka mengerjakan shalat dengan tetap siaga menghadapi musuh. Wallahu waliyut taufiq.
( Majalah ad-Da’wah, edisi 1015, Syaikh Ibnu Baz. )

Artikel Fatwa :

Jika Telah Suci Saat Shalat Ashar atau Isya, Apakah Wajib Melaksanakan Shalat Zhuhur dan Maghrib
Rabu, 31 Maret 04

Tanya :

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: Jika seorang wanita telah suci dari haidhnya diwaktu Ashar atau di waktu Isya, apakah diwajibkan baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan Maghrib karena kedua waktu itu memungkinkan untuk dijama'?

Jawab :

Jika seorang wanita telah suci dari haidh atau nifasnya di waktu Ashar, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar dengan menjama' keduanya menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat para ulama, karena kedua waktu shalat itu adalah satu bagi orang yang berhalangan seperti orang sakit dan musafir, dan wanita ini pun mendapatkan halangan dikarenakan tertundanya kesuciannya dari darah nifas atau darah haidh. Demikian pula jika ia mendapatkan kesuciannya di saat Isya, maka wajib baginya untuk melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dengan cara menjama' sebagaimana disebutkan di atas. Beberapa sahabat telah menfatwakan hal ini. Jika Wanita Mendapatkan Kesuciannya di waktu Ashar Apakah Ia Harus Melaksanakan Shalat Zhuhur

analisa :
Bayi Tabung Dan Inseminasi Buatan
oleh : Izzudin Karimi



Terkadang Allah Ta'ala menguji pasangan suami istri dengan tidak memberikan anak kepada mereka berdua, sekali pun keduanya sudah berusaha, namun Allah belum juga mengabulkan, padahal anak merupakan salah satu tujuan dari pernikahan, harapan dan keinginan suami istri terhadap seorang anak merupakan harapan dan keinginan yang syar'i, pada saat yang sama ilmu kedokteran telah melangkah sedemikian maju, sehingga bisa membantu seorang istri atau seorang wanita yang menggalami gagal hamil untuk hamil dan selanjutnya menimang anak, hal itu melalui inseminasi buatan atau bayi tabung.

Inseminasi buatan demi kelahiran seorang anak, cara ini di luar kebiasaan, karena biasanya melalui hubungan seksual langsung antara laki-laki dengan perempuan, terjadi melalui dua jalan yang mendasar:

1- Jalan inseminasi dalam, hal ini dengan menyuntikkan sperma laki-laki di tempat yang sesuai dalam tubuh wanita.

2- Jalan inseminasi luar, di antara sperma laki-laki dengan telur wanita dalam tabung uji dalam laboratorium medis kemudian telur yang sudah dibuahi tersebut ditanam dalam rahim seorang wanita.

Jalan Inseminasi Dalam:

Cara pertama
, benih jantan diambil dari laki-laki beristri lalu disuntikkan pada tempat yang sesuai di dalam saluran rahim atau dalam rahim istrinya sehingga benih itu bertemu secara alami dengan sel telur yang dipancarkan oleh indung telur istrinya, maka terjadilah pembuahan yang selanjutnya adalah bersemayam di dinding rahim –dengan izin Allah- seperti yang terjadi dalam persetubuhan. Cara ini digunakan jika suami mempunyai keterbatasan karena suatu sebab sehingga dia tidak berhasil menyampaikan spermanya ke sasarannya pada saat terjadi persetubuhan.

Cara kedua, benih jantan di ambil dari seorang laki-laki lalu ia disuntikkan di tempat yang sesuai pada istri orang lain sehingga terjadi pembuahan dari dalam dan selanjutnya menempel di dinding rahim sebagaimana dalam cara yang pertama. Cara ini digunakan manakala suami mandul tidak mempunyai bibit dalam spermanya sehingga benih jantan diambil dari orang lain.

Jalan Inseminasi Luar:

Cara ketiga
, benih jantan diambil dari suami demikian juga sel telur dari istrinya, lalu keduanya diletakkan dalam tabung uji medis dengan syarat-syarat fisika tertentu sehingga benih jantan milik suami membuahi sel telur milik istri dalam wadah uji, setelah pembuahan ini mulai terbagi dan meningkat jumlahnya, dalam waktu yang sesuai dipindahkan dari tabung uji ke rahim istri itu sendiri, pemilik sel telur agar ia menempel pada dinding rahimnya, maka ia tumbuh dan terbentuk seperti janin lainnya, di akhir masa kehamilan istri melahirkan anak laki-laki atau anak perempuan. Ini yang dikenal dengan bayi tabung yang dibuktikan oleh penemuan ilmiyah yang dimudahkan oleh Allah, sampai hari telah ada beberapa anak yang lahir melalui cara ini, laki-laki, perempuan dan kembar, beritanya diekspos oleh koran-koran internasional dan media-media informasi lainnya. Cara ini digunakan manakala istri mandul akibat tersumbatnya saluran di antara rahim dengan indung telurnya.

Cara keempat, inseminasi luar dalam tabung uji antara benih jantan yang diambil dari suami dan sel telur yang diambil dari seorang wanita yang bukan istrinya, mereka menyebutnya dengan relawan, kemudian kedua benih yang telah bertemu ini di masukkan ke dalam rahim istrinya. Cara digunakan manakala indung telur istri tidak berfungsi atau rusak sama sekali namun rahimnya sehat dan mungkin menerima pertemuan kedua benih padanya.

Cara kelima, inseminasi luar dalam tabung uji di antara benih jantan dari seorang laki-laki dan sel telur dari seorang wanita yang bukan istrinya, mereka menamakannya dengan dua orang relawan kemudian kedua benih yang telah bertemu ini dimasukkan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami. Mereka menggunakan cara ini manakala wanita yang bersuami di mana kedua benih itu di masukkan kepadanya mandul karena indung telurnya rusak namun rahimnya sehat, suaminya mandul dan keduanya menginginkan seorang anak.

Cara keenam, inseminasi dilakukan di luar dalam tabung uji di antara benih suami istri kemudian dimasukkan kepada seorang wanita yang menjadi relawan untuk mengandungnya. Mereka meenggunakan cara ini manakala istri tidak mampu untuk hamil karena suatu sebab pada rahimnya, namun sel telurnya sehat dan aktif, atau dia memang tidak berminat untuk hamil, maka ada seorang wanita yang sukarela menggantikannya.
Inilah cara-cara inseminasi buatan yang diwujudkan oleh ilmu demi mengatasi sebab-sebab terhambatnya kehamilan.

Pertimbangan Syar'i

1- Bahwa seorang wanita muslimah membuka dirinya di depan laki-laki, di mana di antara keduanya tidak boleh terjadi hubungan suami istri, adalah perkara yang dilarang dalam kondisi apa pun kecuali demi sebuah tujuan yang disyariatkan di mana syara’ memang membolehkannya.

2- Bahwa kebutuhan seorang wanita kepada kesembuhan dari penyakit yang menyiksanya atau dari sebuah keadaan yang tidak lumrah pada dirinya yang membuatnya tidak bisa hidup dengan tenang termasuk tujuan yang disyariatkan yang membolehkannya membuka diri kepada selain suaminya demi pengobatan ini, dalam kondisi ini hendaknya membuka diri tersebut dibatasi sesuai dengan tuntutan dharurat.

3- Manakala seorang wanita muslimah membuka dirinya di hadapan seseorang di mana di antara keduanya tidak boleh terjadi hubungan suami istri dibolehkan demi sebuah tujuan yang disyariatkan, maka orang yang menangani pengobatannya harus seorang dokter wanita muslimah, jika memungkinkan, jika tidak maka dokter wanita non muslim, jika tidak maka dokter laki-laki muslim, jika tidak maka non muslim, dengan urutan seperti ini. Tidak boleh ada khalwat antara dokter dengan pasien wanita kecuali jika didampingi oleh suaminya atau wanita lainnya.

Tinjauan Syar'i

1- Bahwa kebutuhan wanita yang bersuami yang tidak hamil dan kebutuhan suaminya kepada seorang anak termasuk tujuan yang disyariatkan, mengobatinya dibolehkan dengan cara inseminasi buatan yang dibolehkan.

2- Bahwa cara yang pertama, yaitu benih jantan diambil dari laki-laki beristri kemudian disuntikkan pada rahim istrinya, salah satu cara dalam inseminasi dalam, merupakan cara yang boleh secara syar'i dengan memperhatikan kode etik syar'i, hal itu setelah terbukti bahwa wanita tersebut memerlukan cara ini agar dia bisa hamil.

3- Bahwa cara ketiga, yaitu benih jantan diambil dari suami dan benih betina di ambil dari istri, keduanya adalah suami istri yang sah, lalu kedua benih dipertemukan di luar rahim dalam tabung uji, kemudian dimasukkan kembali ke dalam rahim istri pemilik benih betina, adalah cara yang pada prinsipnya bisa diterima dalam pandangan syar'i, hanya saja ia tidak selamat seratus persen dari faktor-faktor yang memicu keragu-raguan terhadap resiko-resiko yang menyelimutinya, maka hendaknya cara ini tidak digunakan kecuali dalam keadaan yang sangat-sangat dharurat setelah terpenuhinya syarat-syarat umum yang disebutkan.

4- Adapun cara-cara inseminasi buatan lainnya, baik dalam maupun luar, yang telah dijelaskan, maka seluruhnya diharamkan dalam syariat Islam, tidak ada peluang untuk membolehkan sesuatu darinya, sebab benih jantan bukan dari suami dan benih betina bukan dari istri atau karena wanita yang bersedia menampung dua benih yang dipertemukan tersebut bukan istri tetapi wanita asing bagi kedua pemilik dua benih.

Mempertimbangkan resiko-resiko yang mengiringi proses inseminasi buatan ini, bahkan dalam dua kondisi yang boleh secara syar'i, berupa kemungkinan tertukarnya benih atau salah mempertemukan dua benih dalam tabung uji, lebih-lebih jika inseminasi ini dilakukan dalam jumlah yang besar dan sering, maka dinasihatkan kepada orang-orang yang teguh dalam berpegang kepada agama agar tidak mengunakan cara ini demi mendapatkan anak kecuali dalam keadaan yang sangat-sangat terpaksa dan itu pun dilakukan dengan sangat hati-hati dan waspada agar tertukarnya benih atau kesalahan mempertemukan keduanya tidak terjadi.

Dari Jami’ al-Fatawa ath-Thibbiyah wa al-Ahkam al-Muta’alliqah biha, disusun dan dikumpulkan oleh Dr. Abdul Aziz bin Fahd bin Abdul Muhsin.